KOMPAS.COM/DANI
JULIUSBertualang di Hutan Mangrove Margomulyo ini, kita harus menapaki jembatan
selebar 1 meter dengan panjang sekitar 1 kilometer. Cukup membuat pelancong
berkeringat.
LANGIT sejatinya biru bersih selepas
ashar. Tidak ada noktah putih ataupun kelabu di sana. Namun di bawah tudung
ranting dan daun bakau (Rhizophora Apiculata) ini, pada sebuah lurusan
jembatan kayu ulin di sebuah hutan mangrove di Balikpapan, redup, sejuk, adem,
dan terasa mistis. Terlebih bila berjalan di bawahnya seorang diri. Sepi. Hanya
ditemani keciap burung yang terdengar asing suaranya dari kejauhan atau gerakan
aneh di permukaan air, atau suara ‘pletak’ yang kabarnya itu suara capit
kepiting.
Dan, Sochinaso
(dibaca: Sohinaso), 70 tahun, mendadak melebarkan langkah kakinya di jembatan
yang terbentang lurus di depannya. Ia mengejar sejumlah bayangan yang melompat
lincah di antara dahan pohon bakau. Jembatan kayu ulin selebar satu meter ini
berderak mengiringi langkahnya. “Itu para bekantan. Mereka melintas di depan
kita,” kata Sochinaso terpesona.
Setelah
lebih dari 35 tahun tak menginjakkan kaki di bumi Kalimantan, pria asal
Sumatera Utara ini kembali terkesima pada eksotika hutan Kalimantan. Tiga
dasawarsa lalu, ia ke Kalimantan untuk sebuah urusan negara karena negeri ini
konflik dengan Malaysia.
Tetapi kini,
ia kembali ke Kalimantan via Balikpapan untuk urusan menengok cucu dan menantu,
sekaligus menghabiskan waktu pensiun dari serdadu.
Ketika
kembali ke Kalimantan, Sochinaso kembali dibuat takjub oleh hutan. Dulu, ia
mengaku, bisa menemukan pohon dengan diameter tiga kali pelukan laki-laki. Kini
wajah Kalimantan sudah berubah. Kemajuan pembangunan perumahan, gedung, dan
infrastruktur menyurutkan keyakinannya pada sisa hutan. Bakal tidak mudah
didapati hutan bersama habitat liar di dalamnya yang bisa dinikmati.
Tetapi
nostalgia menemui titik terang ketika menjejakkan kaki pada sepotong kecil
hutan kecil mangrove di Balikpapan, sebuah kawasan konservasi mangrove di RT 42
Kelurahan Margomulyo Balikpapan, Kalimantan Timur. “Ini hebat. Ternyata masih
ada yang seperti ini. Padahal kota ini begitu majunya,” kata Sochinaso.
Sochinaso
menjadwalkan melancong ke Balikpapan selama satu bulan. Bila tidak ke mal,
hiburannya ya ke pasar. Paling jauh ke pantai yang saat ini masih jadi andalan
Balikpapan. Belum genap satu bulan, sang anak mengajaknya ke hutan mangrove.
Meski
berbeda dengan model hutan dibanding hutan kebanyakan di tengah darat, di situ
ditemukan petualangan baru yang tentu tak banyak orang yang tahu daya tarik
habitat di dalamnya, mulai dari vegetasi hingga satwa liar.
Hutan
mangrove RT 42 Margomulyo bikinan warga sekitar yang dinamai Kelompok Tani
Tepian Lestari bekerja sama dengan Balai Lingkungan Hidup. Dibangun pada tahun
2002 dilatari terusiknya warga yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari
habitat yang ada di balik rerimbun mangrove.
Kehadiran
industri, kebanyakan galangan kapal, memusnahkan banyak sekali bakau dan
sejenisnya. Monyet dan bekantan (Masalis larvatus) menyusut populasinya,
ikan dan udang untuk dikonsumsi maupun dijual susah dipancing. Kepiting ukuran
besar tak lagi mudah dijaring.
Sadar akan
kehilangan salah satu mata penghidupan, mereka mencoba melestarikan sisa
mangrove di sekitar mereka. Hutan mangrove ini seluas 16,5 hektar. Terbagi
dalam dua kantung yang dibelah Sungai Sidomulyo yang bermuara pada Teluk
Balikpapan.
Beragam
vegetasi tumbuh di tanah lumpur berair pasang surut. Ada jenis-jenis bakau (Rhizophora),
tumbuhan api-api hitam (Avicennia alba) yang buahnya jadi kesukaan para
bekantan. Terdapat pohon-pohon nipah (Nypa fruticans), pidada
(Sonneratia caseolaris), bintaro (Cerbera spp.) dan lain-lain.
Mereka tumbuh begitu subur dan rapat.
Di balik
itu, ragam satwa pun bisa ditemui. Kepiting dengan warna-warna unik pada
capitnya. Ada yang biru, ungu, merah, bahkan bersemburat putih. Belum lagi
ikan-ikan yang pandai memanjat pohon. Para petani setempat menyebutnya sebagai
ikan tempakul. Terdapat pula ragam burung. Tentu pula satwa khas di sana adalah
bekantan.
“Saya mulai
bergabung pada 2008. Saya kira jumlah bekantan yang terhitung saat itu sekitar
15. Saya sekarang pasti sudah semakin banyak,” kata Tegowadi, Ketua Tepian
Lestari.
Kelompok ini
kemudian membangun jembatan dari kayu ulin pada 2003. Persoalan klasik,
pembangunan jembatan menjadi swadaya warga. Jembatan dibangun sejauh sedikitnya
1.000 meter dengan lebar satu meter. Jembatan dibangun mengeliling. Masuk lewat
pintu gerbang berukir perisai Dayak. Setelah menapaki sekitar 100 meter,
pelancong bisa menemukan dua gazebo yang cocok untuk membuat acara kecil.
Masuk lebih
ke dalam, pelancong akan bertemu dengan percabangan jembatan, satu mengarah ke
suar pemantau setinggi lima meter. Satu lagi mengarah ke hutan yang lebih
rimbun, agak gelap, dan berhawa lebih sejuk. Keduanya kembali bertemu di sebuah
jembatan besar yang berada di atas Sungai Sidomulyo. Dari atas jembatan itu
pelancong bisa menonton dan memotret kapal-kapal kayu bermesin maupun kelotok
yang lalu lalang keluar masuk sungai Sidomulyo.
Selepas
menyeberang jembatan masukilah kantung kedua kawasan mangrove yang tentu
suasananya tak kalah eksotik dan rimbun. Sekadar wanti-wanti, sepanjang
petualangan itu pelancong harus hati-hati dengan dahan-dahan pohon melintang ke
sana kemari di atas ulin. Kebanyakan setinggi bahu orang dewasa. Bila tidak
hati-hati kepala bisa terantuk karenanya.
Semua yang
ada di dalam hutan bisa dinikmati dan diabadikan. Anak-anak sekolah kerap masuk
ke sana untuk ekowisata. Muda mudi menyiapkan foto pre-wedding. Peneliti dan
wisatawan asing pun kerap tak melewatkan waktu mampir. Para pehobi fotografi
meluangkan waktu mengabadikan satwa tersembunyi dan suasana mistis di dalamnya
baik untuk koleksi pribadi ataupun komunitasnya, baik dengan cuma kamera ponsel
ataupun kamera sebesar ‘bazoka’.
“Lebih dari
itu, andalannya adalah kesegaran udara yang tidak Anda dapatkan dimanapun di
Kota Balikpapan. Namanya hutan mangrove, di situ penyedot karbondioksida
terbesar. Jadi berada di baliknya, tentu terasa sekali udara yang sangat
segar,” kata Tegowadi.
Di Balik
Dinding Sekolah
Kebanyakan
warga Balikpapan mengenal hutan mangrove sebagai hutan SMA Negeri 8, meski
secara geografis bagian di RT 42 Kelurahan Margomulyo. Pasalnya, hutan ini
tepat berada di balik dinding sekolah SMAN 8.
Tidak sulit
mengunjungi tempat ini. Pelancong yang datang ke Balikpapan dengan pesawat
cukup mengeluarkan uang Rp 3.500 untuk naik angkutan kota warna hijau (di
Balikpapan disebut taksi) dari Bandara Sepinggan ke terminal Damai di BP
(Balikpapan Permai). Dari BP pindah taksi warna kuning jurusan Rapak (daerah
yang disebut sebagai Kilometer 0 Balikpapan), juga dengan ongkos Rp 3.500. Dari
Rapak, pelancong bisa melanjutkan perjalanan dengan menyewa ojek.
Ada sedikit
kejengahan dengan para tukang ojek ini. Pelancong harus pintar-pintar tawar
menawar harga pengantaran dengan mereka. Jarak dari Rapak ke SMAN 8 sekitar 2
kilometer saja. Namun aspal jalan yang dilalui keriting alias rusak. Karenanya
bila beruntung bisa memperoleh harga Rp 10.000 per ojek atau semahal-mahalnya
Rp 20.000 untuk sampai ke sekolah ini.
Kawasan ini
sendiri buka pada pukul 08.00 dan ditutup pada pukul 17.30. Jadi, lewat dari
jam itu lebih baik urungkan niat memasuki hutan dan kembali lagi esok hari.
Sesampai di
SMAN 8, masukilah gang kecil berlantai kayu ulin tepat di samping kiri dinding
sekolah itu. Dari sinilah petualangan dimulai. Jarak mulut gang ke pintu masuk
hutan sekitar 100 meter. Pintu masuk sendiri berbentuk gerbang dua pintu.
Kendati ada
bilik kecil semacam loket tempat penjualan tiket, namun memasuki gerbang ini
tidak perlu membayar tiket. Gerbang ditunggui warga pengawas hutan. Cukup
merogoh kocek seiklasnya bagi si penjaga pintu bila ingin melewati gerbang
sebagai penghargaan untuk yang menjaga dan merawat kawasan itu.
“Rencananya
akan dikelola pemerintah daerah. Tapi belum juga, padahal sarana sudah jadi.
Karena itu kami tidak berani menarik karcis karena harus ada pengelolanya,”
kata Tegowadi.
City Guide
Melancong ke
Balikpapan jangan lupa sambil menenteng ‘city guide’, semacam peta
lokasi-lokasi wisata di Balikpapan. City guide ini sangat membantu
pelancong bertualang ke berbagai obyek wisata. City guide berisi
sedikitnya 15 obyek wisata Balikpapan serta bagaimana menjangkaunya hingga
urusan berapa biaya yang mesti dikeluarkan.
Kawasan
mangrove salah satu di antaranya. Mangrove adalah salah satu dari obyek wisata
alam liar lain, seperti kawasan hutan lindung tempat tinggal satwa orang utan,
beruang madu, bekantan, serta habitat kantung semar yang terbilang langka, di
tempat seperti Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup (KWPLH) dan Hutan
Lindung Sungai Wain (HLSW).
“Ada 15
obyek wisata utama. Termasuk hutan lindung, yang di dalamnya ada bahari atau
pantai dan lingkungan. Termasuk disini adalah mangrove,” kata Kepala Dinas
Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Balikpapan, Dra. Doortje Marpaung,
MM.
City guide bisa didapatkan di sejumlah counter
tourism baik di Bandara Udara Sepinggan atau di Pelabuhan Kapal Laut Semayang.
Dari mana pun pelancong datang, soal informasi sejatinya jadi tidak sulit
dengan City Guide.
Mintalah
petunjuk lisan dari penjaga counter tourism information lalu dapatkan city
guide yang berisi titik-titik lokasi wisata serta panduan transportasi
beserta ongkos yang harus dikeluarkan selama perjalanan ke tiap titik obyek
wisata. Maka bertamasyalah dengan lancar.
Editor :
I Made
Asdhiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar